Sungai beracun: Perlawanan untuk merebut kembali air dari perkebunan kelapa sawit di Indonesia

ECOTON, GEMAWAN, GRAIN, KRUHA| 7 Desember 2020

Sungai beracun: Perlawanan untuk merebut kembali air dari perkebunan kelapa sawit di Indonesia [English]

Medium_fishers_in_sambas_river

Nelayan di Sungai Sambas. Foto: ECOTON

Saat dunia terus berjuang melawan pandemi, akses atas air bersih menjadi lebih penting dari sebelumnya – terutama karena salah satu cara terbaik untuk melindungi diri dari Covid-19 adalah dengan rutin mencuci tangan dengan air bersih. Perintah sederhana, namun berpotensi sulit untuk dipenuhi, terutama di kalangan masyarakat yang semakin menghadapi kelangkaan air. Masyarakat berjuang untuk mengakses baik secara kuantitas maupun kualitas air yang dibutuhkan untuk minum, memasak, mandi, mencuci tangan, dan menanam bahan makanan.

Krisis iklim telah mengubah air menjadi komoditas yang langka, memicu kehiruk-pikukan untuk mengontrol akses ke sumber daya ini – sebuah fenomena yang dikenal sebagai perampasan air. Pertanian adalah pengguna air tawar terpenting di dunia. Produksi makanan dan komoditas pertanian lainnya menyumbang lebih dari 80% penggunaan air tawar.1 Perampasan air yang terkait dengan perampasan tanah oleh agroindustri telah menyebabkan banyak kasus konflik sosial dan kerusakan lingkungan di seluruh dunia. Lonjakan industri dalam permintaan minyak sawit sebagai alternatif minyak nabati murah, adalah contoh nyata dari hal ini. Hal tersebut datang dengan konsekuensi yang mahal, mulai dari perusakan hutan hujan, eksploitasi tenaga kerja, dan perampasan tanah serta perampasan air yang brutal.

Memeras Indonesia hingga kering

Hanya sedikit negara di dunia yang mengalami ekspansi perkebunan kelapa sawit yang pesat seperti Indonesia. Kelapa sawit bukanlah tanaman asli negeri ini, namun sifat pohonnya hanya dapat ditanam di tanah tropis yang sempit, di Utara atau Selatan khatulistiwa dengan curah hujan yang melimpah dan merata. Rata-rata kebutuhan air selama masa budidaya setara dengan 3,4 mm curah hujan per hari setara dengan 34.000 liter per hektar (ha) per hari.2 Kondisi spesifik ini membuat potensi areal perkebunan kelapa sawit agak terbatas, namun banyak ditemukan di Indonesia.

Produksi minyak sawit global mencpai sekitar 72 juta ton, dan Indonesia sendiri menghasilkan hampir 35 juta ton per tahun. Indonesia saat ini memiliki 14 juta hektar perkebunan kelapa sawit yang dibudidayakan dan diharapkan akan terus bertambah.3 Pemerintah Indonesia terus mempromosikan dan mendorong perluasan perkebunan kelapa sawit sejak lonjakan permintaan pasar akan biofuel di awal tahun 2000-an. Mereka berencana memperluas areal perkebunan kelapa sawit menjadi 26 juta hektar. Apa yang dimulai oleh salah satu perusahaan Belgia yang membuka perkebunan kelapa sawit komersial pertama di Sumatera Utara pada tahun 1911, kini merambah hampir setiap pulau di negeri ini, membawa dampak yang merusak baik bagi masyarakat maupun lingkungan.

Beberapa perusahaan perkebunan besar yang beroperasi di Indonesia telah melebarkan bisnisnya ke belahan dunia lain. Perusahaan seperti Wilmar International, Cargill, Golden Agri Resources, Socfin Group dan Asian Agri termasuk di antara pemilik perkebunan yang secara aktif melebarkan bisnis mereka ke Afrika dan Amerika Latin selama beberapa dekade terakhir. Faktanya, lahan di Indonesia dan Malaysia – dua negara yang memproduksi hampir seluruh kelapa sawit dunia – menjadi terlalu padat untuk perkebunan baru. Amatlah penting untuk mengungkap realitas keseharian dan perjuangan untuk mendapatkan air bagi masyarakat yang tinggal di sekitar dan di perkebunan kelapa sawit. Masyarakat lokal sangat prihatin dengan sumber air mereka. Namun, dampak jangka panjang perkebunan kelapa sawit pada aliran air alamiah terus terabaikan hingga saat ini.

Di Indonesia, lebih dari 82 juta orang terpaksa hidup dengan kekurangan air dan sanitasi yang layak.4 Di sisi lain, perampasan air oleh perkebunan kelapa sawit menunjukkan tahap lanjut dari liberalisasi air. Bukan hanya komodifikasi air dalam bentuk yang kasat mata, seperti privatisasi layanan air minum perpipaan atau Air Minum Dalam Kemasan (AMDK), yang menjadi satu-satunya masalah. Namun, hal ini juga meluas dalam bentuk perampasan air virtual, yaitu jumlah air yang digunakan dalam produksi makanan dan produk lainnya. Dan jumlah ini sangat besar. Dampak ini dapat dikategorikan dalam beberapa tahapan:

  • Perusakan massal sumber air di hulu akibat pembukaan hutan untuk perkebunan.

  • Pencemaran sumber air warga, baik oleh pupuk, pengolahan limbah, maupun oleh bahan yang terkandung dalam sumber daya alam yang dibongkar selama proses ekstraksi.

  • Mengeringnya sumber air masyarakat akibat tingginya konsumsi air oleh industri kelapa sawit dalam setiap proses produksinya.

  • Pembukaan lahan untuk industri ekstraktif seperti perkebunan kelapa sawit yang telah mengurangi kapasitas tanah dalam menyerap air hujan dan seringkali mengakibatkan banjir di sekitar areal perkebunan.

  • Perampasan air di luar kawasan industri karena meningkatnya permintaan air minum dalam kemasan di kawasan produksi kelapa sawit karena kurangnya air bersih.5

 

Antara tahun 2000 dan 2020, luas perkebunan kelapa sawit di Kalimantan meningkat lebih dari dua kali lipat, dari 2,4 juta ha menjadi 5,8 juta ha. Kalimantan Barat adalah area produksi kelapa sawit terbesar ketiga di Indonesia dengan luas perkebunan hampir 1,5 juta ha di sebelas kabupatennya. Perluasan perkebunan di Kalimantan Barat dimulai pada 1980-an dengan bantuan lembaga keuangan internasional, seperti Bank Dunia yang mempromosikan pola inti plasma, sejenis pertanian kontrak, kepada masyarakat komunitas.6;7 Tekanan dari perkebunan kelapa sawit telah memaksa komunitas di wilayah tersebut untuk berjuang lebih keras demi akses air bersih dan memproduksi makanan. Namun, bukan hanya kuantitas air yang terancam oleh ekspansi besar-besaran perkebunan kelapa sawit. Masyarakat di dua kabupaten di Kalimantan Barat, Kabupaten Ketapang dan Sambas, juga mengeluhkan pencemaran air di sungai dan sumber air mereka akibat penggunaan pupuk dan pestisida yang berlebihan di dalam perkebunan.8

Medium_map2_circles
Peta perkebunan sawit di Kalimantan Barat. Sambas dan Ketapang dilingkari merah 9

Sambas
 
Di Desa Semanga, di tepian Sungai Sambas, yang mayoritas penduduknya adalah petani, penyadap karet dan nelayan, kelapa sawit merupakan pengguna lahan terbesar. Sekitar 280 ha lahan dimiliki dua perusahaan kelapa sawit: PT. Agro Nusa Investama (ANI), anak perusahaan Wilmar International dan PT. Wana Hijau Semesta (WHS), anak perusahaan dari grup Duta Palma. Selain perkebunan tersebut, terdapat pula lahan persawahan dan hortikultura milik warga desa.
 
Perkebunan kelapa sawit di daerah itu dimulai sekitar 25 tahun yang lalu, dan para nelayan terus-menerus menyuarakan kekhawatiran tentang pencemaran air karena stok ikan terus menurun setiap tahun. Menurut Asmadi, seorang nelayan lokal berusia 60 tahun, sebelum ada perkebunan kelapa sawit di kawasan itu, nelayan bisa menangkap ratusan kilogram ikan, sementara saat ini mereka hanya mendapat empat hingga sepuluh kilogram per tangkapan.
 
Hampir setiap tahunnya, ada masalah ikan mati di sungai, terutama saat musim kemarau antara Mei dan Juli. Hal ini biasanya dimulai dengan sungai menjadi berwarna hijau kebiruan yang tidak wajar, dan penduduk desa kemudian akan menangkap ikan mati. Warga mengatakan ikan rasanya menjadi pahit dan asam, dan yang memakannya sering sakit perut. Dalam keterangan media, Kepala Dinas Tata Lingkungan Kabupaten Sambas mengatakan, kejadian kematian ikan di Sungai Sambas disebabkan limbah minyak sawit dari pengolahan minyak sawit mentah yang masuk ke aliran sungai. Telah dilakukan investigasi untuk membuktikan apakah perusahaan tersebut telah melanggar aturan pembuangan limbah, melanggar standar lingkungan. Akan tetapi, sejauh ini belum ada putusan atau sanksi dari pemerintah kabupaten terhadap perusahaan tersebut.10
 
Pertanian padi diserang

Sebagian penduduk desa tetap bekerja di sawah, dan mayoritas dari mereka sekarang adalah perempuan. Menurut Mardiah, seorang petani wanita, penggundulan hutan dan penggunaan bahan kimia pertanian yang berasal dari produksi kelapa sawit secara besar-besaran telah menyebabkan peningkatan serangan hama di sawah penduduk. Sawah umumnya diairi oleh curah hujan tanpa irigasi, dan terletak di tepi sungai. Selain itu, jatah beras yang diberikan oleh perusahaan kelapa sawit menggerogoti minat untuk terus bertani, dan penduduk desa, terutama pria, menjadi tenaga kerja di perkebunan.
 
Terdapat dua sumber mata air bagi penduduk desa: mata air dari gunung Senujuh yang biasa digunakan untuk minum dan memasak, dan sungai Sambas dan alirannya, digunakan untuk mencuci dan mandi. Namun, kelestarian mata air tersebut terancam dengan penambangan batu dan oleh karena itu masyarakat sekarang mengandalkan air dari Sungai Sambas. Alirannya mengalir di antara perkebunan kelapa sawit sebelum berakhir di sungai Sambas. Investigasi yang dilakukan ECOTON menemukan bahwa terdapat 8 jenis pupuk dan 5 jenis pestisida yang digunakan di perkebunan yang mengandung logam berat beracun yang telah mencemari air sungai.11
 
Meskipun pejabat pemerintah mengakui memburuknya kualitas air Sambas, tidak ada informasi publik mengenai polutan beracun yang sebenarnya pada sungai tersebut. Meski demikian, kesehatan masyarakat menjadi bukti tercemarnya sungai tersebut. Pencemaran di salah satu anak sungai Sambas, Sajingan Kecil, menyebabkan 142 orang mengalami iritasi kulit. ECOTON bersama masyarakat di Sungai Sambas melakukan pengambilan sampel untuk mengidentifikasi sumber dan jenis polutan di sungai dan kanal. Mereka menemukan kadar klorida dan fosfat yang tinggi di sungai Sambas yang didorong oleh perkebunan kelapa sawit.
Observasi di lapangan juga menemukan bahwa PT Agro Nusa Investama, salah satu anak perusahaan Wilmar masih menggunakan glifosat dan paraquat untuk mengendalikan gulma di perkebunan meskipun kedua herbisida tersebut telah dilarang di banyak negara karena tingkat toksisitasnya. Roundtable of Sustainable Palm Oil (RSPO), di mana Wilmar menjadi anggotanya, juga telah melarang penggunaan paraquat di perkebunan kelapa sawit anggotanya. Dalam laporan keberlanjutannya, Wilmar mengklaim bahwa mereka telah menghentikan penggunaan paraquat di semua perkebunan mereka sejak 2011, tetapi bukti dari lapangan menunjukkan sebaliknya.12

Ketapang
 
Desa Simpang Tiga Sembelangaan di Ketapang, Kalimantan Barat dikelilingi oleh dua perkebunan milik PT. Agro Lestari Mandiri, anak perusahaan Sinar Mas dan PT. Ladang Sawit Mas dari kelompok Bumitama Gunajaya Agro (BGA). Perkebunan kelapa sawit yang mulai beroperasi pada tahun 1990-an telah mengubah situasi sosial ekonomi dan lingkungan desa.
 
Sebelum adanya perkebunan, warga menggunakan Sungai Pawan yang menghubungkan kota dengan 7 kecamatan sebagai satu-satunya sumber air. Selain dua kebun sawit tersebut, di sepanjang sungai juga terdapat lima kebun sawit lainnya, sebuah pemukiman dan perkebunan rakyat.
 
Setelah pembukaan lahan besar-besaran dan dimulainya kegiatan perkebunan, sungai menjadi tercemar, dan keluarga desa, yang terbiasa mengonsumsi air sungai, mulai jatuh sakit. Terdorong untuk mencari sumber mata air lain, penduduk desa membangun penampungan air sederhana dan pipa ledeng untuk keluarga mereka. Dalam sepuluh tahun terakhir, 670 rumah tangga menggunakan pasokan air bersih tersebut dengan membayar iuran bulanan antara Rp. 5000 hingga Rp. 10,000. Begitupun, masih ada 75 rumah tangga yang masih bergantung pada perkebunan Ladang Sawit Mas untuk suplai air bersih mereka, dan 140 rumah tangga lainnya yang tidak mendapatkan pipa air harus bergantung pada air tanah.
 
Dampak bencana perkebunan kelapa sawit terhadap kehidupan nelayan sangatlah mutlak. Di satu sisi, perubahan alur anak sungai oleh perkebunan serta penurunan kualitas dan kuantitas air menyebabkan hasil tangkapan mereka menyusut dengan cepat. Di sisi lain, selain menjadi nelayan, sebelum datangnya perkebunan, banyak juga yang berprofesi sebagai petani, namun kini sebagian besar bekerja sebagai buruh di perkebunan. Mereka mengharapkan pendapatan yang lebih stabil dan teratur, tetapi kenyataannya berbeda: mayoritas pekerja kelapa sawit bergantung pada pinjaman untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka yang paling dasar.
 
Hentikan perusakan dari kelapa sawit pada sumber mata air
 
Lebih banyak lahan telah dirampas untuk kelapa sawit di pulau tropis Kalimantan selama beberapa dekade terakhir dibandingkan wilayah mana pun di dunia. Selain terus menyasar tanah ulayat milik masyarakat adat, yang menyumbang sekitar 40% dari populasi pulau, hal itu juga merusak lingkungan sekitar, hutan, mata air dan sungai.
 
Pengalaman masyarakat di Kalimantant Barat sekali lagi menunjukkan dampak yang sangat besar dari perkebunan kelapa sawit bagi masyarakat setempat. Dan ironisnya, masyarakat terpaksa menjadi buruh murah bagi perusahaan perkebunan kelapa sawit, di lahan yang dulunya adalah milik mereka, setelah perusahaan yang sama menghancurkan mata pencahariannya. Akses mereka ke tanah dan sumber air hilang, saat ini dan bagi generasi mendatang.
 
Lonjakan permintaan global akan kelapa sawit juga perlu dipahami sebagai perampasan air, dan tidak hanya bagi masyarakat yang kehilangan tanahnya tetapi juga bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya karena air dan sungai mencakup wilayah yang luas dan ruang hidup bagi manusia dan lingkungan. Amatlah penting untuk terus mendukung dan memperkuat masyarakat dan perjuangan mereka melawan perkebunan industri skala besar. Kesejahteraan dan masa depan masyarakat, tanah, air, dan iklim kita bergantung pada hal tersebut.
 
******
 
1 UNESCO World Water Assessment Programme, “Facts and figures. About 80% of global virtual water flows relate to agricultural products trade”, diakses 24 November 2020, http://www.unesco.org/new/en/natural-sciences/environment/water/wwap/facts-and-figures/all-facts-wwdr3/fact-25-virtual-water-flows/
2 Herda Sabriyah Dara Kospa, Kris R.D.Lulofs, Chay Asdak, “Estimating water footprint of oil palm production in PTP Mitra Ogan Baturaja, South Sumatra”, International Journal on Advance Science Engineering Information Technology, 2017, https://ris.utwente.nl/ws/files/27682641/2451_9479_1_PB.pdf
3 Info Sawit, “Produksi minyak sawit CPO Indonesia Agustus 2019”, diakses Oktober 2020, https://www.infosawit.com/news/9383/produksi-minyak-sawit--cpo--indonesia-agustus-2019-capai-34-7-juta-ton
4Badan Pusat Statistik, “Persentase rumah tangga yang memiliki akses terhadap layanan sanitasi layak dan berkelanjutan, menurut provinsi, 2017-2019”, https://www.bps.go.id/indicator/23/1558/1/persentase-rumah-tangga-yang-memiliki-akses-terhadap-layanan-sanitasi-layak-dan-berkelanjutan-40-bawah-menurut-provinsi.html
5 The Institute for Ecosoc Right, “Industri perkebunan sawit dan hak asasi manusia”, 2015, https://www.academia.edu/35282375/INDUSTRI_PERKEBUNAN_SAWIT_DAN_HAK_ASASI_MANUSIA
6 Julia, “Pembangunan untuk Siapa? Implikasi jender perkebunan kelapa sawit terhadap perempuan Dayak Hibun di Kalimantan Barat”, Jurnal Tanah Air, Walhi, Oktober – Desember 2009.
7 Model 'perkebunan inti plasma' diperkenalkan pemerintah pada 1980-an, di mana petani kecil ('plasma') akan terikat kontrak dengan perusahaan besar ('inti') untuk memproduksi kelapa sawit.
8Berdasarkan pada studi ECOTON dan organisasi masyarakat akan aktivitas dan kehidupan di dua kabupaten.
9 Informasi Kelapa Sawit, “Potensi kelapa sawit di Kalimantan Barat”, 2012, http://informasi-kelapasawit.blogspot.com/2012/11/potensi-kelapa-sawit-di-kalimantan-barat.html
10 Kalbar Kabardaerah, “Diduga terindikasi tercemar limbah CPO, ikan di Sungai Sambas mendadak mati”, 31 Juli 2019, https://kalbar.kabardaerah.com/2019/07/31/diduga-terindikasi-tercemar-limbah-cpo-ikan-di-sungai-sambas-mendadak-mati-%E2%80%8E/
11 ECOTON mengkompilasi daftar agrokimia yang dipakai di dua perkebunan PT ANI (Wilmar International) dan PT LSM-BGA.
  • Sign the petition to stop Industria Chiquibul's violence against communities in Guatemala!
  • Who's involved?

    Whos Involved?


  • 13 May 2024 - Washington DC
    World Bank Land Conference 2024
  • Languages



    Special content



    Archives


    Latest posts